MOJOKERTO – Sudah menjadi kegiatan rutin setiap 3 selapan (115 hari) Yayasan Bimasakti Peduli Negeri mengadakan acara Sarasehan Budaya di Bimasakti Farm (Yayasan Bimasakt Peduli Negeri) Pacet, Mojokerto. Acara yang diselenggarakan sebagai sarana bertukar gagasan, pelestarian budaya, serta untuk memperkuat jiwa kebangsaan bagi pegiat budaya Jawa Timur.
Sebagai wujud implementasi kegiatan di Yayasan Bimasakti Peduli Negeri, CEO PT Bimasakti Multi Sinergi yakni Bapak Ibnu Sunanto dan Deputy CEO Bapak Suroto juga turut hadir dalam kesempatan istimewa kali ini. Tak sampai disitu, sebanyak kurang lebih 300 peserta yang berasal dari berbagai komunitas dan organisasi termasuk para sesepuh dengan nama besar juga hadir untuk memeriahkan Sarasehan Budaya kali ini antara lain:
- Iptu M. Khoirul Umam – Kapolsek Pacet Baru
- Romo Rsi Sababuana – Tengger, Semeru
- Romo Putu – Pasuruan
- Gus Khudori – Yayasan Masura
- Romo Edi – Yayasan Reksoati
- Ir Jaka Dhama Limba – Yayasan Prime Lotus
- KPAH Sucipto Wironagoro – Keraton Adipati Malang
- Mbah Djito – Sanggar Akar Mojo
Pada Sarasehan Budaya kali ini merupakan momen istimewa dikarenakan dihadiri oleh Bapak Dahlan Iskan sebagai narasumber materi. Materi yang dibawakan beliau adalah “Nilai – Nilai Luhur Untuk Menggapai Kesuksesan Dengan Jiwa Yang Tetap Tenang dan Bahagia”. Dengan materi tersebut, beliau menceritakan tentang perjuangannya dalam menghadapi penyakit kanker hati sampai sembuh pada tahun 2007. Dengan segala hal yang dialami membawa beliau pada pemikiran bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh kemrungsung dan harus sumeleh. Kemrungsung yang disebutkan memiliki arti panik atau tergesa-gesa, dan sumeleh berarti pasrah atau berserah kepada kehendak sang kuasa.
Bapak Dahlan Iskan menyatakan bahwa dengan berserah kepada yang kuasa membuat beliau dapat lebih tenang dalam menjalani hidup dan mengambil keputusan. Beliau juga menuturkan bahwa bersikap panik justru akan membawa anda menuju segala pertimbangan serta keputusan yang memperburuk keadaan.
Dengan dibawanya materi tersebut diharapkan peserta Sarasehan Budaya kali ini dapat memahami bahwasanya dalam menyelesaikan masalah, mencari kesembuhan, ataupun mengejar kesuksesan, kita harus tetap tenang dan menerima dalam menghadapinya. Hal tersebut juga tentunya dapat membuat kita lebih mudah untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman yang mana dua poin tersebut sangat diperlukan untuk keseimbangan atau harmoni dalam kehidupan kita.
Dalam acara Sarasehan Budaya kali ini, Yayasan Bimasakti Peduli Negeri juga memberikan cinderamata yang diserahkan langsung oleh Bapak Ibnu Sunanto kepada Bapak Dahlan Iskan sebagai bentuk penghargaan karena telah berbagi wawasan dan menjadi taladan dalam mencapai kesuksesan dengan tetap tenang dan Bahagia. Cinderamata tersebut berupa pusaka Keris Dhapur Tilam Sari dengan pamor Pulo Tirta.
Filosofi yang dimiliki pusaka keris tersebut sangat sesuai dengan sosok Bapak Dahlan Iskan dan segala pencapaian beliau. Dhapur Tilam Sari memiliki makna sebagai ketenteraman dan keindahan dalam bebrayan agung (rumah tangga yang harmonis dan sejahtera). Ditambah dengan Pamor Pulo Tirta yang dimaknai sebagai kesuburan serta keseimbangan/harmoni dalam kehidupan.
Menurut nasehat leluhur zaman Majapahit dulu, apabila seseorang mulai menginjak dewasa dan memasuki kehidupan berumah tangga disarankan memiliki 1 dari 3 dhapur keris yaitu:
- Brojol
Yang memiliki makna mbrojol / lolos / kemudahan dalam melangkah dan mencapai tujuan.
- Tilam Sari
Bermakna ketentraman dan keindahan dalam berumah tangga.
- Jalak Sangu Tumpeng
Kemudahan dalam mencari sandang pangan.
Nasehat tersebut pun bukan tanpa alasan, namun mengacu kepada indikator seorang jawa atau juga bisa disebut Satria Jawa. Indikator tersebut memiliki 5 (lima) unsur antara lain:
Garwa / Wanita
Wanita yang dimaksud tidak hanya dimaknai sebagai istri, namun juga dimaknai sebagai kehidupan, kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang memberikan ketenteraman jiwa. Dengan Wanita, seorang ksatria jawa akan membara semangatnya dalam mewujudkan tujuan hidupnya.
Wisma
Secara umum wisma akan diartikan sebagai rumah. Namun bagi Ksatria Jawa, wisma tidak hanya dipercayai sebagai rumah tapi juga tempat perlindungan yang dapat membuat merasa nyaman, tentram, dan tenang.
Turangga
Secara harfiah turangga diartikan sebagai kuda atau kendaraan. Akan tetapi, alasan mengapa turangga menjadi salah satu syarat untuk menjadi Ksatria Jawa karena dimaknai sebagai pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, serta keahlian. Hal ini sangat penting bagi Ksatria Jawa dikarenakan tanpa adanya turangga, orang tersebut tidak adakan dapat memajukan hidupnya dan melangkah lebih jauh.
Kukila
Seorang Ksatria Jawa harus memiliki kulika / burung. Namun burung yang dimaksud bukan berarti harus memelihara burung dan mengurungnya dalam sangkar. Burung bagi Ksatria Jawa dimaknai sebagai sarana rekreatif untuk memenuhi kebutuhan rohani atau batin yang membuat mereka tetap santun dan tetap memukau dalam hidupnya.
Curiga
Sebagai syarat menjadi Ksatria Jawa, curiga dapat diartikan sebagai keris. Pusaka keris tersebut merupakan simbol dari kewaspadaan, kesiagaan, dan keperwiraan. Hal tersebut tentunya sangat penting untuk dimiliki Ksatria Jawa dalam mempertahankan ke-empat unsur sebelumnya.